Minggu, 08 April 2012

Giliran Wanita Dilecehkan di Negeri Sendiri, Kita Bungkam!


GERAH juga rasanya saya mengikuti pemberitaan akhir-akhir ini baik itu di media cetak maupun media elektronik. Berita perkosaan adalah salah satu yang sangat merisihkan, karena info perkosaan menempati headline di berbagai media masa, seakan-akan tiada lagi warta menarik lainnya.
Sungguh sangat mengkhawatirkan jika situasi seperti ini terus dibiarkan melanda negeri ini, karena lama-kelamaan akan menjadi habit yang membentuk mainframe pada setiap orang bahwa wanita sebatas pemuas nafsu.
Banyak media masa yang memuat berita perkosaan sembari menjelaskan modus pelaku dalam melakukakan kejahatan tersebut.
Memang dengan adanya penjelasan modus perkosaan dapat menjadi pelajaran bagi korban atau calon korban agar lebih waspada. Namun secara tidak langsung penjelasan tersebut juga menjadi wawasan tersendiri bagi mereka yang rendah imannya untuk mengoleksi trik-trik khusus demi memperlancar aksi bejatnya. Buktinya, hingga detik ini berita perkosaan terhadap kaum hawa semakin sering kita dengar.
Berdasarkan data dari Polda Metro Jaya yang di muat beberapa media masa, selama tahun 2011 terjadi 68 kasus perkosaan. Sedangkan pada tahun 2010, ada 60 kasus perkosaan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sekitar 13.33 persen dalam setahun. Atau bisa disimpulkan bahwa tindak kriminal perkosaan tumbuh subur di negara kita yang dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sungguh-sungguh memalukan.
Sementara itu, data yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, sejak 1998 hingga 2010 ada 295.836 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 91.311 di antaranya kasus kekerasan seksual. Ironis, terlebih kasus pemerkosaan menempati peringkat pertama yang sering terjadi. Sebanyak 4.391 perempuan di Indonesia mengalami pemerkosaan. Itu yang tercatat, bagaimana yang tidak tercatat?
Sementara itu, pada peringkat kedua aksi kejahatan yang menimpa perempuan, yakni kasus perdagangan manusia untuk tujuan seksual, ada sekira 1.359 kasus. Adapun kasus pelecehan seksual menempati peringkat ketiga dengan 1.049 kasus. Sungguh mengerikan!
Ironinya, belum ada organisasi massa (ormas) khususnya ormas Islam yang tampil beraksi menyikapi situasi ini secara konsisten. Bayangkan, dengan data seperti ini tak banyak masayarakat merasa ini sebuah peristiwa penting yang jadi perhatian besar. Para politisi juga masih hanya sibuk dengan urusan partainya sendiri.
Coba bayangkan jika satu kejadian saja seperti ini  terjadi di Arab. Apa yang bakal terjadi? semua warga protes, mencaci-maki –bahkan jika bisa—maunya mengajak perang. Gilirannya jika warga kita dianiaya, diperkosa dilecehkan di dalam negeri sendiri, kok ya kita semua seolah membiarkan?
Di sisi lain, formula penyelesaian masalah yang diambil pemerintah belum mampu menuntaskan perkara, bahkan penegak hukum yang menyidik kasus perkosaan juga bisa dibilang tanpa hasil nyata. Sementara lembaga-lembaga yang mengusung jargon gender, HAM, feminisme beserta kroni-kroninya yang lain seakan-akan bungkam tanpa aksi. Mereka hanya berkoar di depan media masa tanpa pengambilan sikap yang jelas dan tegas dalam menindaklanjutinya.
Saya coba mengutip Pasal 285 KUHP,  “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Sanksi ini sangat multitafsir dimana yang tertulis pidana penjara paling lama, tidak menutup kemungkinan hukuman penjara bisa dipercepat asal ada uang. Kemudian penjahat-penjahat itu akan bebas bergentayangan menebarkan kehancuran lagi.
Dan kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa kasus perkosaan masih terjadi berulang-ulang dengan modus yang hampir sama.
Hal tersebut sangat mengindikasikan bahwa hukuman bagi pelaku perkosaan tidak menimbulkan efek jera sehingga kejahatan perkosaan terus meningkat. Kita tidak bisa banyak berharap kepada aparatur pemerintah untuk bertindak tegas dalam menyikapi kasus perkosaan. Selain hukum yang masih menganut kapitalis, pemimpin-pemimpin negeri ini juga belum memiliki wibawa dihadapan pelanggar hukum sehingga segala bentuk sanksi/ hukuman masih dapat di-negosiasi-kan.
Inilah kegusaran yang saya yakin banyak orang juga sedang merasakannya. Terutama mereka yang memiliki family wanita entah itu anaknya, adiknya, kakaknya, sepupunya  atau apapun statusnya. Paling tidak sebagai orang yang beriman semestinya kita mengambil sikap bila melihat kedholiman, dan bila sedikitpun kegusaran tidak dirasakannya maka bisa dipertanyakan keimanannya.
Melalui tulisan ini saya coba men-derivasi-kan angan yang terus membayangi setiap mengikuti perkembangan berita di media masa. Keprihatinan mendorong saya untuk coba membuka wacana public sebaiknya sikap apa yang menjadi solusi. Jika sampai sekarang ini ulama, tokoh masyarakat, pemimpin-pemimpin, pejabat, aparatur  keamanan, pegawai serta orang-orang yang berpengaruh di negeri ini masih adem-ayem dibalik gejolak kasus perkosaan yang kian merisaukan. Lalu siapa yang mestinya bertindak agar hukum Allah benar-benar dilaksanakan? Bukankah kita berada di bumi Allah?
Marilah  semua pihak untuk segera mengambil peran bersama dalam menindak tegas pelaku perkosaan yang telah menebarkan kemaksiatan di negeri ini. Jika perlu, kita mendampingi aparatur penegak hukum negeri ini sehingga mampu memberikan sanksi yang benar-benar menjerakan bagi pelaku perkosaan.
Yang lebih aneh, perangkat hukum kita terbukti tak pernah bikin orang jera memperkosa. Tapi kalau sudah giliran ditawarkan Islam sebagai bagian cara menyelesaikan masalah, semua di antara kita langsung menolak. Bayangkan jika seandainya salah satu keluarga kita menjadi korbannya, mungkin lain perkara.
Semoga Allah senantiasa memudahkan urusan kita semua. Amiin yaa Robbal’alamin.

Tidak ada komentar: